Code-switching (alih kode) dan Code-mixing (campur
kode) sering kali terjadi dalam berbagai percakapan masyarakat, Code-Mixing dan
Code-Switching dapat terjadi di semua kalangan masyarakat, status sosial
seseorang tidak dapat mencegah terjadinya Code-Mixing maupun Code-Switching
atau sering disebut multi bahasa (multilingual). Masyarakat yang multi bahasa
muncul karena masyarakat tutur tersebut mempunyai atau menguasai lebih dari
satu bahasa yang berbeda-beda sehingga mereka dapat menggunakan pilihan bahasa
tersebut dalam kegiatan berkomunikasi. Terutama masyarakat Indonesia yang
memang terdiri dari ragam suku dan bahasa. Dalam kajian sosiolinguistik,
pilihan-pilihan bahasa tersebut kemudian dibahas karena hal ini merupakan aspek
penting yang dikaji dalam suatu ilmu kebahasaan.
Thelander mengatakan apabila didalam suatu peristiwa
tutur terdapat klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan terdiri dari
klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing
klausa dan frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa
yang terjadi ini adalah campur kode (code-mixing). Kemudian Nababan mengatakan
campur kode (code-mixing) yaitu suatu keadaan berbahasa lain ialah bila orang
mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa
tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu.
Maksudnya adalah keadaan yang tidak memaksa atau menuntut seseorang untuk mencampur
suatu bahasa ke dalam bahasa lain saat peristiwa tutur sedang berlangsung. Jadi
penutur dapat dikatakan secara tidak sadar melakukan percampuran
serpihan-serpihan bahasa ke dalam bahasa asli. Code mixing serupa dengan
interfensi dari bahasa satu ke bahasa lain.
Misalnya:
"jangan suka nge-judge gitu dong. orang
kan beda-beda"
(kata "judge" merupakan kata dalam bahasa
inggris yang disisipkan ke dalam pengucapan bahasa indonesia).
Nah, disini kita lihat bahwa code-mixing tidak
berganti di seluruh kalimat, tetapi hanya pada satu-dua kata saja dengan bahasa
asing agar terlihat lebih keren atau berterima. Menurut saya, penggunaan code
mixing ini juga dikarenakan, ada sebagian dari kata-kata tersebut yang arti
atau maknanya lebih menekan atau 'pas' tingkat kedalaman maknanya. Ini terjadi
juga secara tidak sadar, karena kadang-kadang otak kita memiliki banyak
leksikon yang bercampur aduk dan kita sering menggunakan lebih dari satu
bahasa.
Contoh lainnya :
Lilis : Eda, tugasmu udah siap?
Afdel : udah donk
Lilis :
Dapat bahan darimana?
Afdel :
Browsing-lah kak, kan banyak tuh bahan disana, rajin baca aja.
Hal yang sama dari code switching dan code mixing, ya
keduanya lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua
bahasa atau lebih.
Perbedaannya alih kode (code switching) terjadi antara
bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan
sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu, sementara campur kode (code
mixing) terjadi pada suatu kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki
fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan
bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan
otonomi sebagai sebuah kode.
Nababan mengatakan bahwa Alih kode (code
switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode (bahasa) ke kode yang
lain dalam suatu peristiwa tutur.
Contoh:
Afdel : Eda, kak Lilis belom datang ya?
Lia : Belum, padahal sebentar lagi sudah hampir
setengah sembilan,
tutup waktu absen.
Afdel : Eh, itu dia datang. Eh, kak lis asi leleng ko ro?
Kak Lilis : "Wi, pature anakku dope, Ayah si Nadia kehe tu Panyabungan karejo.
Kak Lilis : "Wi, pature anakku dope, Ayah si Nadia kehe tu Panyabungan karejo.
Code Switching disini terjadi antara Afdel dan kak Lilis merupakan berasal dari
daerah yang sama, yaitu Panyabungan sehingga memungkinkan penggunaan bahasa
daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar